Copyrights @ Journal 2014 - Designed By Templateism - SEO Plugin by MyBloggerLab

17 December 2012

Rambu Tuka, Eksotisme Toraja

Share


Didekap asap pembakaran ratusan babi dalam upacara Rambu Tuka. Hanya bisa dialami di Toraja

Baronang Bakar sore itu sangat nikmat. Ikan segar terasa lebih manis ketika dimasak. Beda dengan makanan laut yang sudah terlalu lama disimpan. Gerimis seakan menabuh cacing perut yang keroncongan untuk semakin lahap menyantap makanan. Angin laut yang bertiup dari pantai Losari seakan mengantar matahari pulang ke peraduan.
Sore itu kami, saya dan Sandry menghabiskan senja di Makassar. Santai sejenak menikmati kota Makassar sebelum menempuh perjalanan panjang ke Tana Toraja. Yus, driver ramah yang berambut keriting siap mengantar berdua untuk menjelajahi bumi Sulawesi Selatan. Yus asli Timor Leste. Ada kisah menarik dari sosok Yus. Setamat dari SMP, Yus sempat masuk ke hutan ikut gerilya ketika Timor Leste tengah bergolak.. aah nanti aku ceritakan. Sekarang saatnya berbagi keseruan kisah menjelajah bumi Toraja.

Sekitar jam 8 malam, kami meninggalkan Makassar. Macet sempat menghiasi jalanan selepas hujan. Rupanya kemacetan bukan lagi monopoli Jakarta. Kota-kota di luar Jawa juga mulai dihantui kemacetan. Pemerintah harus segera menata kota jika tak ingin ditenggelamkan macet.
Who is that?

ROMA Roti Maros bertekstur lembut dengan isi selai Skrikaya. Rasa manis selai Srikaya pas banget. Tak bikin gigi ngilu. Sangat disarankan untuk memborong Roti Maros ini sebagai buah tangan khas Maros. Kalo kami membeli beberapa bungkus ROMA sebagai bekal perjalanan. Sebungkus harganya 10.000. para penjual ROMA banyak berjajar di sepanjang ruas jalan Maros – Pangkajenon. Maros, kabupaten ini menyimpan beberapa objek wisata yang menarik. Lambaian gemulai kepak sayap kupu-kupu di Taman Nasional Banttimurung membuai khayalan. Semoga masih ada waktu setelah dari Toraja untuk mampir ke Banttimurung.

Sembari ngemil ROMA, kami menyusuri jalanan. Di beberapa ruas jalan, Yus mesti menurunkan kecepatan karena jalan sedang diperbaiki. Tampaknya ini akan jadi malam yang panjang. Perjalanan Makassar ke Toraja kira-kira membutuhkan 8 jam. Jika tidak membawa kendaraan sendiri, anda bisa naik bus malam ke Toraja dengan tiket seharga 80.000. Penampakan bus malam Makassar – Toraja dari luar cukup indah. Cat berwarna-warni dengan paduan beberapa lampu kecil. Lebih indah ketimbang bus malam di Jawa.

Mataku terpejam. Entah sempat terlelap berapa lama.

Ketika mata terbuka, mobil dalam keadaan berhenti. Aku lirik ke bangku sopir, Yus tak ada. Kemana gerangan Yus? Sandry masih tertidur. Jam di dashboard menunjukan 03.00 dini hari. Aku melongok ke kaca. Ada sebuah rumah makan. Kesempatan untuk meluruskan kaki sejenak dan mengosongkan kantung kemih yang berasa penuh. Udara dingin menyergap ketika pintu mobil terbuka. Dari seberang jalan terlihat Yus keluar dari toilet.

”Istirahat bentar mas” kata Yus
”Sampai dimana kita?”
”Enrekang mas, ngopi dulu mas” ajak Yus.

Udara dingin membuat perut kembali keroncongan. ROMA sudah tandas hanya tersisa plastik pembungkusnya. Aku memesan semangkuk mie instan. Semerbak uap mie instan membangunkan Sandry. Di rumah makan juga menyediakan beberapa oleh-oleh khas Enrekang. Salah satunya salah Enrekang yang dibungkus dengan daun. Aah dini hari begini lebih menggoda menyicip kehangatan mie instan ketimbang mengunyah ”snakeskin fruit”.

Mie instan masuk ke perut. Secangkir kopi juga masuk perut. By the way kok dari awal cerita makanan melulu yaaa. Salah satu yang aku sukai dari traveling adalah nafsu makan seakan bertambah meski hanya semangkuk mie instant tapi di nikmati di tempat yang belum pernah rasanya lebih nikmat. Jaga berat badan lhoo jangan kebablasan hahahahaaa.

Secangkir kopi tak mempan bikin mata melek. Kembali kami terpejam. Maksudnya aku dan Sandry, kalo Yus mah harus melek karena nyetir. ”Kalo ngantuk istirahat saja Yus” begitu pesanku sejak dari awal dijemput Yus di bandara Hassanudin. Santai saja tak usah dipaksa. Safety first.

Kali ini yang membangunkan aku adalah udara segar yang masuk dari sela kaca yang terbuka. ”Selamat datang di Toraja mas” ujar Yus.
Udah nyampe?”
”Udah masuk Tana Toraja, paling 5 menit lagi masuk ke Makale”
Makale adalah ibu kota kabupaten Tana Toraja. Sejak 24 Juni 2008 kabupaten Tana Toraja dimekarkan menjadi kabupaten Tana Toraja dengan ibukota Makale dan Toraja Utara dengan ibukota Rantepao. Naah di Toraja Utara inilah tujuan kami berkunjung. Disana sudah menanti seorang kawan bernama Cakra. Keluarga besar Cakra akan mengadakan upacara adat Rambu Tuka. ”Waah pesta besar nanti kita, ratusan babi akan dikurbankan. Dan Rambu Tuka termasuk upacara adat yang langka” iming-iming Cakra ketika kami bertemu di Jakarta. Cakra menawari untuk tinggal di rumahnya. Dan tawaran itu kami sambut dengan senang hati.

Kebetulan ada teman juga yang sedang liputan di Tana Toraja. Mereka meliput program khusus tentang kuliner. Dan mereka menginap di Hotel Pantan. Kami sempat mampir ke kamar mereka. Numpang mandi hehehee. Lumayan badan segar siap lanjut lagi jalan ke Rantepao yang berjarak sekitar 18 km.

Perjalanan panjang ini kami tempuh dalam rangka peliputan program MutuManikam, sebuah program feature travelling dan kebudayaan yang tayang di tvOne. Lovely Decembers menjadi ajang yang menarik untuk diliput karena upacara adat dan atraksi wisata yang layak untuk ditayangkan. Yaa kami berdua saja, Sandry – reporter merangkap jadi host, sedangkan saya – produser merangkap jadi camera person.
Babi terbesar seharga 25 juta

Saya akan membagi cuplikan liputan MutuManikam. Jadi terus baca kisah ini yaa...

Jalanan berliku mengikuti kontur pegunungan. Kabut tipis menghiasi pemandangan. Beberapa anak berseragam merah putih berjalan berangkat sekolah. Bahagia sekali mereka. Menghabiskan masa kecil di daerah dan bisa bermain dengan alam. Tak seperti anak kota yang hanya kenal PS dan Ipad. Aku punya saudara yang waktu itu masih berumur 4 tahun. Si anak ini lahir dan besar di Jakarta. Ketika berkunjung ke Klaten pas Lebaran, pandangan si anak tak pernah lepas dari kaca mobil. ”Itu kok lapangan golf besar sekali?” ujar si anak polos. Semua yang didalam mobil langsung terbahak-bahak. ”Kasian sekali anak kota ini, sawah dikiranya lapangan golf”

Kembali ke Toraja. Kami sudah sampai ke Rantepao. Pesan singkat aku kirim ke Cakra setelah BBM pending dan panggilan telpon tak dijawab. Tak berapa lama Cakra membalas ”Ke arah kecamatan Sa’dan kalo sudah di Sa’dan sebut saja nama Cakra, semua orang tahu” Waah sok beken juga niih teman satu ini.

Kami meluncur ke Sa’dan. Jalanan aspal mulai mengelupas. Lubang-lubang besar menganga bak kubangan kerbau. Jangan-jangan memang tempat kerbau berkubang. Di Toraja, banyak kerbau atau biasa disebut Tedong termasuk hewan favorit dipelihara. Tedong dikurbankan dalam upacara Rambu Solo upacara kematian. Orang Toraja percaya, Tedong sebagai kendaraan tunggangan orang mati untuk menuju Puya. Bagi kaum bangasawan, minimal menyembelih 21 ekor kerbau. Dan kerbau jenis tertentu harganya bisa mencapai 500 juta. Wuiih-wuiih. Tak heran bila upacara Rambu Solo menelan biaya milyaran rupiah. Hidup untuk mati begitu ujar Cakra suatu saat pas kita lagi ngobrol tentang budaya Toraja. Desember tahun 2014 keluarga Cakra juga akan mengadakan Rambu Solo untuk nenek Cakra. ”Harus nabung mulai sekarang niih” senyum Cakra. Rambu Solo memang sudah menjadi daya tarik wisata Toraja. Ribuan turis datang untuk menyaksikan upacara kematian ini. Berkunjung ke Toraja paling pas sekitar bulan Juni-Juli dan akhir tahun. Di bulan tersebut banyak keramaian upacara adat.

Ngomong-ngomong soal Cakra, kembali ke pencarian rumahnya. Karena berada di pegunungan maka sinyal adalah barang mewah. Berbekal selarik SMS kami berusaha mencari rumah Cakra. Hanya dua kali bertanya, kami sudah diarahkan ke rumah keluarga Cakra.

Kediamana keluarga besar Cakra sangat luas. Ada 2 Tongkonan, rumah adat Toraja dan lebih dari 20 puluh lumbung berbaris rapi memagari halaman. Kami menginap di salah satu Tongkonan. ”Tenang saja, tidak ada nenek disini” goda Cakra.
”Maksud loe?”
Cakra menjelaskan bahwa tradisi Toraja bila ada orang meninggal dan menunggu upacara Rambu Solo, maka jenazah disimpan di dalam Tongkonan. Sudah lebih dahulu disuntik formalin tentunya biar awet. Nenek merupakan sebutan bagi orang tua baik laki maupun perempuan di masyarakat Toraja. Makanya bila ditawari menginap dalam Tongkonan pastikan dulu ada nenek ato tidak Cakra kasih pesan.
 Dan juga. Cakra berpesan terutama buat Sandry, kalo pacaran ama cowo Toraja, tanyain dulu ”Nenek sehat?” klo Nenek masih sehat waah mending putus aja deeh ketimbang ntar kebagian keluar biaya buat upacara Rambu Tuka” Kami pun tertawa mendengar guyonan Cakra.
Malam itu kami tidur lelap. Dan tentu saja, sebelum tidur, kami memeriksa setiap sudut Tongkonan untuk memastikan tidak ada nenek yang lebih dahulu ”tidur” disitu.

Kaok burung gagak membangunkan kami. Di belakang Tongkonan ada rimbunan pohon tempat berkumpul burung gagak. ”Kopi...kopi..” Cakra menenteng seteko kopi dan beberapa cangkir. Di tangga Tongkonan kami menikmati Kopi Arabica Toraja yang terkenal. Pekat, hitam dengan aroma mantap. Penganan kecil terbuat dari ketan tersedia di piring. Langit cerah. Angin berhembus pelan mengoyang beberapa daun bambu. Pagi yang sempurna.

Beberapa mobil sudah siap mengangkut keluarga besar Cakra menuju lokasi upacara. Hanya berjarak sekitar 10 menit, kami tiba di Tongkonan keluarga besar Mekkita. Tongkonan yang dibangun tahun 1976 tersebut dinamai Tongkonan Sireng. Hari ini keluarga besar Mekkita mengadakan hajatan besar yaitu Rambu Tuka.
Upacara adat Toraja menjadi penyambung tali kekerabatan 

Dalam adat Toraja ada dua upacara besar yaitu Rambu Solo, upacara kematian dan Rambu Tuka, upacara yang berhubungan dengan syukuran, syukuran panen padi, syukuran perkawinan dan syukuran renovasi Tongkonan.
Di kecamatan Sa’dan upacara Rambu Tuka untuk syukuran Tongkonan disebut Merok. Sedangkan di daerah Toraja lain disebut Mangrara Banua diambil dari kata Mangrara (peresmian) dan Banua (rumah).

Sekitar 3000 anggota keluarga besar yang berasal dari 16 keturunan menghadiri upacara ini. Waaah-waah ini mah mengalahkan acara silaturahmi keluarga di Jawa yang biasa berkumpul pas Lebaran.

Selain jenis upacara yaitu upacara kematian dan upacara syukuran, yang membedakan Rambu Tuka dengan Rambu Solo adalah hewan yang disembelih. Rambu Solo mengorbankan kerbau sedangkan Rambu Tuka menyembelih babi. Menurut adat, minimal 200 ekor babi harus disembelih dalam Merok. Dan dalam upacara sekarang, keluarga besar Mekkita sudah menyiapkan 224 ekor babi sebagai wujud rasa syukur kepada Puang Matua (Tuhan). Harga babi berkisar antara 5-10 juta rupiah per ekor.
Wuuiih alamat banjir babi niih halaman. Bagaimana rasanya berjalan diantara lautan ratusan babi? Sabar yaaa. Soalnya Rambu Tuka mulai dimulai dengan pembacaan doa dan dilanjutkan dengan berbagai tarian. Salah satunya tarian Ondo Samalele. Puluhan perempuan mengenakan baju tradisional Toraja membentuk lingkaran. Mereka menari dalam iringan tabuhan gendang.
Musik dan seni tari yang ditampilkan dalam Rambu Tuka tidak boleh dimainkan dalam Rambu Solo.
Jadi Rambu Solo benar-benar upacara yang berbeda dengan Rambu Tuka. Bahkan Rambu Tuka termasuk upacara yang langka digelar. Setelah 35 tahun, keluarga besar Mekkita baru menggelar upacara Rambu Tuka atau Merok. Saya merasa sangat beruntung bisa mengikuti prosesi Merok dari awal sampai selesai selama 5 hari berturut-turut. Kembali ke tarian.

Sandry terlihat gembira dan larut dalam tarian, meski tak memakai baju tradisional. Diantara perempuan yang berpakaian tradisional, terselip logat jakarta loe-gue-loe-gue.

Naah berikut cuplikan tarian dalam upacara Rambu Tuka


Menurut salah satu panitya Merok, Atto Rattang sekitar 70% anggota keluarga yang hadir merupakan perantauan. Mereka merantau ke berbagai penjuru daerah dan kini berkumpul bersama untuk saling mengenal dan merawat tradisi Toraja. Pantas saja, mungkin banyak perantauan Toraja yang mengadu nasib ke Jakarta dan kini mereka kembali ke tanah leluhur.

Matahari semakin tinggi. Musik berhenti bertalu, para penari mulai minggir dan berkumpul. Saatnya santap siang. Berbagai hidangan disuguhkan. Bagi anda yang Muslim, disarankan untuk jeli memilih makanan. Karena banyak menu masakan terbuat dari babi. Keluarga Cakra sudah tahu, maka mereka menyiapkan menu nasi merah dengan ikan dan ayam goreng. Asyik nasi merah euuy. Jarang-jarang bisa makan nasi merah. Sedangkan Sandry yang berdarah Batak merasa senang sekali bisa mencoba masakan dari babi. Sandry mencicipi Pa’piong, daging babi yang dicampur berbagai bumbu dan dimasak dalam batang bambu. Masakan khas Toraja.
Makan bersama bahagia bersama

Ada rasa haru terselip dalam hati ketika melihat ribuan orang makan bersama. Jalinan tali saudara direkatkan kembali dibawah naungan tradisi.

Perut kenyang. Angin semilir meninabobokan kesadaran. Agar tak jatuh tertidur, kami berjalan-jalan diantara Tongkonan. Heei liat, sekumpulan orang sedang merangkai uang kertas pecahan 100 ribu, dirangkai dengan sebilah bambu. Kayak sate uang niih namanya. Kami bertemu dengan pak John Mala. Pak John bercerita bahwa dia keturunan Toraja namun lama merantau ke Papua. Kini Pak John punya usaha sebagai kontraktor. Menurut pak John, rangkain uang itu disebut Ma’Toding, yaitu persembahan untuk keluarga yang mengadakan upacara. Ada pecahan seratus ribu yang dibentuk mirip sate ada juga pecahan limapuluh ribu yang dirangkai dengan tali rafia jadi semacam kalung.

Di tengah lapangan, orang kembali berkerumun. Tarian Ma’Toding dimulai. Seorang perempuan yang mewakili anggota keluarga menari ditengah lingkaran. Anggota keluarga lain mulai menyematkan Ma’Toding ke ikat kepala. Juga mengalungkan uang ke leher penari. Banyak juga yang melemparkan uang yang jatuh diantara kaki penari. Si penari terus bergerak perlahan diantara uang yang berserak. Tarian ini menyimbolkan bentuk sumbangan kepada keluarga yang tengah punya hajat.

Selesai menyematkan Ma’Toding, aku iseng bertanya ke Pak John, ”kira-kira habis berapa buat ikut upacara ini?”
”Hmmm..” otak pak John sepertinya sedang berhitung. Buat tiket, hotel, trus beli babi 3 ekor, buat Ma’Toding yaa kira-kira habis 60 jutaan.
Woow 60 juta buat turut berpartisipasi dalam upacara ini. Padahal pak John bukan termasuk keluarga inti yang harus menanggung biaya keseluruhan upacara. Pak John hanya datang, menyumbang 3 ekor babi dan uang untuk Ma’Toding.
Waaah habis berapa upacara Merok ini?

Kalo anda capek membaca, istirahat sejenak, nikmati rangkaian photo berikut..
Babi-babi mulai mengalir masuk ke Tongkonan Sireng
Menggotong si babi
Bate atau hiasan yang menyimbolkan strata sosial
Para babi berbaris rapi
haiiii babi

Keheningan pagi pecah oleh teriakan babi. Berpuluh truk mengangkut babi dan menurunkan di pintu masuk halaman Tongkonan Sireng. Babi lantas dimasukkan kedalam kandang bambu. Puluhan orang lalu mengarak kandang babi masuk ke halaman Tongkonan.
Kandang babi tersebut dihias dengan berbagai tanaman dan bunga. Menurut pak Atto, Lempo atau hiasan kandang babi menyimbolkan status si pemilik babi. Bila si pemilik babi keturunan rakyat jelata maka hiasan cukup berupa bunga dan dedaunan. Sedangkan keturunan bangsawan boleh memakai Lempo yang tinggi yang disusun dari kain-kain tenun mahal dan senjata.
Kain yang bertingkat itu disebut Bate.
Babi-babi terus mengalir masuk ke halaman Tongkonan. Orang mengarak dengan wajah-wajah gembira.
Kandang-kandang babi ditata di sepanjang halaman. Tanah halaman becek dan berlumpur karena hujan semalaman. Namun tidak mengurangi kemeriahan. Malahan lumpur jadi obyek gurauan para pemuda yang menggotong kandang dengan mencipratkan lumpur ke orang-orang sekitar mereka. Tidak ada yang marah. Malah saling tertawa.

Bakar Babi
That's me... yeaah this one not that one 
Membagi daging babi

Sebuah kandang babi masuk. Dari jauh tampak megah dengan tumpukan Bate tertinggi. Babi yang tergemuk dalam kandang. ”Naah itu babi tante gue” seru Cakra. Seruan itu seakan menjawab mengapa Tongkonan keluarga besar Cakra termasuk yang terbesar di Toraja. Cakra termasuk keturunan bangsawan.

Bate tertinggi dengan babi terbesar. Menurut si empu babi harganya 25 juta. Wuuiiddiiihh.. babi termahal yang pernah kujumpai.
Hari beranjak sore. 224 ekor babi berjajar di halaman. Orang-orang lalu lalang diantara lumpur becek yang bercampur dengan kotoran babi. Tapi hal itu tak mengurangi rasa nikmat orang-orang yang kembali menikmati hidangan makanan. Sungguh pemandangan yang langka. Terutama bagi saya yang jarang bergaul dengan babi hihihihihiiii.

camera Rolliiiing.. and Actioooonn

Dan inilah puncak Merok. Prosesi penyembelihan. Sebelum babi-babi disembelih secara massal, terlebih dahulu menyembelih seekor kerbau. Kerbau yang dikorbankan adalah kerbau hitam (Tedong Pudu”). Sebelum dikurbankan dengan ditusuk tombak (Dirok) terlebih dahulu ada doa atau Disurak. Doa pujian kepada Puang Matua, Tuhan yang Esa dalam ajaran Aluk To Dolo.

Cara pemotongan babi yaitu menusuk jantung babi lantas dibiarkan babi mati. Bayangkan 224 babi disembelih secara bersamaan. Riuh sekali suara erangan babi bercampur dengan teriakan orang-orang.
Saking banyaknya babi harus dibakar dengan alat khusus
ratusan babi dikurbankan dalam upacara Rambu Tuka di Tongkonan Sireng

Babi yang sudah mati lantas dibakar memakai bambu bekas kandang. Saking banyaknya babi, maka ada yang dibakar dengan alat pembakar semacam las.
Asap segera menyelubungi Tongkonan Mekkita. Bayangkan saja, membakar sate 10 tusuk saja, asap sudah kemana-mana. Naah ini yang dibakar 224 ekor babi.
Mata pedih. Hidung tak kuat membaui asap pembakaran. Sapu tangan tak kuat membendung asap yang masuk lubang hidung.
Sempat pula ada babi yang mencoba kabur dan terjadi kejar mengejar.

Setelah semua babi disembelih dan dibakar, lalu digotong dan dikumpulkan di depan Tongkonan Mekkita. Pak Atto tampak sibuk mencatat nama para penyumbang babi. Di tubuh babi tertera nama orang yang menyumbang.
Setiap nama yang menyumbang diumumkan dengan pengeras suara. Rasanya gengsi bila ada keluarga yang tak menyumbang karena sumbangan tercatat dan diumumkan di depan khalayak ramai. Bahkan di tubuh babi ditulisi nama si pemilik. Daging babi pun lantas dibagi-bagikan.
Hari ini masyarakat Toraja berpesta. Pesta besar.

Tak hanya masyarakat yang berpesta, pemerintah Toraja Utara juga mendapatkan keuntungan dari berbagai upacara adat yang berlangsung. Ada pajak babi. Setiap orang yang menyembelih babi, dikutip 50 ribu per ekor.

Pengalaman yang luar biasa. Upacara yang luar biasa dengan biaya yang luar biasa. Dan tentu saja bau asap bakaran 224 ekor babi yang luar biasa melekat disekujur badan.  

Saking melekatnya itu bau asap, ketika kami kembali ke rumah Cakra, ada saudara Cakra oom Katong yang sedang duduk di teras. Mobil kami berjalan pelan memasuki halaman rumah, begitu mendekati teras kami buka kaca.

”Waah kalian bawa oleh-oleh babi bakar ke rumah yaa ” kelakar Oom Katong.
”Kenapa oom, bau banget yaaa?” balasku sambil terkekeh.
”Mandi saja di Sungai Sa’dan. Jangan lupa minum airnya dikit. Kata orang siapa yang minum air Sungai Sa’dan suatu saat akan kembali lagi”
”Waah boleh tuuh Oom”

Kami segera meluncur ke Sungai Sa’dan yang mengalir tak jauh dari Tongkonan keluarga besar Cakra.
Air sunga Sa’dan jernih. Lebarnya sekitar 20 meter, dangkal dan berbatu. Cocok buat mandi.

Kami berempat yaitu saya, Sandry, Yus dan si Xenia alias mobil yang kami tumpangi segera menceburkan diri ke sungai. Yus dengan telaten memandikan si Xenia. Karena saat upacara, si Xenia parkir tak jauh dari Tongkonan Sireng maka kecipratan asap juga.

Bau asap yang hilang ditelah arus Sungai Sa’dan. Namun kenangan akan indahnya upacara Rambu Tuka akan terus menempel dalam ingatan.
Lovely December
Pengalaman tak terlupakan di Toraja
Suatu hari dalam hidup anda, harus datang ke Toraja

http://www.mymakassar.com

0 komentar: